Umat Islam sering menyaksikan para mujahid di Palestina, Afghanistan, Suriah, dan bumi-bumi jihad lainnya melakukan aksi meledakkan bom yang dibawa oleh dirinya sendiri. Operasi seperti ini kemudian lebih dikenal dengan sebutan bom syahid.
Hal tersebut merupakan salah satu praktik jihad kontemporer
yang masih sering diperdebatkan oleh umat Islam. Belum diketahui secara pasti
siapa yang pertama kali mempopulerkan aksi seperti ini di era jihad modern.
Dalam konteks non-Islam, operasi yang mirip bom syahid sudah ada pada akhir
Perang Dunia II saat pasukan Jepang memiliki armada khusus yang disebut dengan
Kamikaze. Mereka adalah sekelompok pasukan yang terdiri dari para pilot yang
menabrakkan pesawatnya ke target-target musuh.
Namun tidak ada riwayat yang menunjukkan bahwa umat Islam
terinspirasi dari sejarah Kamikaze. Mereka memiliki motivasi khusus yang
kembali kepada keyakinan Islam, seperti yang akan dijelaskan selanjutnya, insya
Allah.
Bom syahid mulai kembali populer saat mujahid-mujahid
Palestina menggunakan cara ini untuk memberikan serangan balasan kepada
orang-orang Yahudi. Akhirnya menjadi tren di kalangan para mujahidin di
berbagai belahan dunia, bahkan serangan yang tepat ke jantung Amerika WTC dan
Pentagon menggunakan metode serangan seperti ini.
Pro kontra tentang operasi bom syahid mulai bermunculan.
Syaikh Abu Malik Kamal bin Salim dalam kitab Kasyful Akinnah, kelengkapan dari
kitab Shahih Fiqh Sunnah yang sangat fenomenal juga melakukan kajian hukum
serangan seperti ini.
Setidaknya, pada bom syahid ini ada poin yang beririsan
dengan apa yang pernah dilakukan oleh beberapa orang sahabat di masa lalu.
Yaitu, seorang mujahid menceburkan dirinya ke dalam barisan musuh demi
memberikan keuntungan bagi barisan kaum muslimin dengan risiko terbunuh.
Untuk poin tersebut salah satu mujtahid mazhab Syafi’i,
yaitu Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Ghazali, dalam kitab beliau yang cukup
masyhur “Ihya’ Ulumuddin” menyatakan bahwa poin di atas adalah sesuatu yang
diperbolehkan. Al-Ghazali berkata, “Tidak ada perbedaan pendapat akan bolehnya
seorang muslim sendirian menceburkan dirinya ke dalam barisan orang-orang kafir
walaupun dia tahu dia akan terbunuh.”
Akan tetapi beliau mensyaratkan bahwa aksi menceburkan diri
ke barisan musuh harus memberikan kerugian kepada musuh dan keberuntungan di
pihak kaum muslimin. Hal ini jelas dalam perkataan beliau,
“Akan tetapi kalau
dia tahu dengan menceburkan diri ke barisan musuh tidak memberikan kerugian
yang berarti bagi musuh, maka sama saja hukumnya dengan orang buta yang masuk
ke dalam kancah peperangan, hal ini jelas haramnya.” (Ihya’ Ulumuddin 2/319)
Apa yang disampaikan oleh Imam Ghazali ternyata juga diamini
oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Ia mengatakan, “Seorang prajurit yang
berperang sendirian, atau dia bersama kelompok kecil melawan pasukan musuh, dan
perlawanan mereka bisa memberikan kerugian kepada musuh dengan asumsi mereka
akan terbunuh, maka hal ini diperbolehkan menurut para ulama empat mazhab dan
yang lainnya, dan tidak ada yang menyelisih pendapat mereka melainkan hanya
pendapat yang nyleneh.
Hal ini pernah terjadi pada perang Uhud. Diriwayatkan oleh
Anas bin Malik bahwa pada perang Uhud Rasulullah dijaga oleh tujuh sahabat dari
Anshar dan dua sahabat dari Qurasy. Saat musuh membuat mereka terdesak,
Rasulullah saw bersabda, “Barang siapa mau menghadang mereka (barisan musuh
yang hendak membunuh nabi), maka baginya surga.” Kemudian salah seorang Anshar
melawan hingga terbunuh.
Musuh terus mendesak Nabi. Nabi saw kembali bersabda, “Siapa yang mau menghadang mereka, maka baginya surga.” Kemudian seorang dari Anshar memberikan perlawanan, hingga terbunuh. Keadaan terus seperti itu hingga tujuh dari mereka terbunuh satu persatu. Kemudian Rasul saw berkata kepada dua orang yang tersisa, “Kita tidak adil kepada sahabat-sahabat Anshar.” (HR. Muslim, no : 1789 ).
Thanks for reading & sharing Subhanallah