Nikah mut’ah adalah pernikahan seorang laki-laki dengan
seorang perempuan dalam jangka waktu yang telah disepakati oleh mereka (satu
hari, dua hari, bisa kurang atau lebih) dengan si laki-laki memberikan sesuatu
kepada si perempuan; bisa berupa harta, makanan, pakaian, atau yang lain.
Apabila masa yang telah disepakati telah habis, maka secara otomatis terjadi
perpisahan di antara mereka berdua tanpa talak (perceraian) dan tidak saling
mewarisi. (Jami’ Ahkam an-Nisa, 3/182)
Asy-Syaikh Abdullah bin Abdur Rahman
al-Bassam rahimahullah berkata, “Mut’ah adalah pecahan dari
kata tamattu’ (menikmati) sesuatu. Dinamakan nikah mut’ah karena
tujuan pernikahan itu ialah seorang laki-laki bisa bersenang-senang dengan
perempuan yang diikat dengan sebuah perjanjian sampai batas waktu tertentu.”
(Taudhih al-Ahkam, 5/294)
Mut’ah Telah Merebak di Indonesia
Praktik nikah mut’ah (baca: kawin kontrak) tenyata sangat
laris di dunia kampus yang teletak di kota-kota besar di Indonesia, seperti
Bandung, Surabaya, Makassar, Yogyakarta, dan lainnya. Sebagai contoh adalah apa
yang diungkapkan oleh seorang penulis skripsi yang berjudul “Perempuan dalam
Nikah Mut’ah”. Hasil survei yang dilakukannya menunjukkan bahwa nikah mut’ah
banyak dilakukan oleh kalangan civitas akademika, di antaranya adalah para
mahasiswa yang tersebar hampir di seluruh kampus di Makassar. Salah satu alasan
para perempuan ingin melakukan nikah mut’ah adalah karena merantau dan jauh
dari orang tua/keluarga sehingga membutuhkan perlindungan dari mahramnya agar
terhindar dari hal yang tidak diinginkan.
Jenis perjanjiannya pun bermacam-macam. Sebagian data yang
didapatkan menunjukkan bahwa mereka yang melakukan nikah mut’ah ada yang
memilih periode/jangka waktu selama si perempuan dalam masa studi. Jika si
perempuan sudah lulus kuliah, nikah mut’ahnya pun turut selesai.
“Ketahuilah bahwa nikah mut’ah itu haram sejak sekarang ini sampai hari kiamat. Barang siapa (telah nikah mut’ah) dan memberi sesuatu (kepada seorang perempuan), dia tidak boleh mengambilnya.”
Dalil-Dalil yang Mengharamkan Nikah Mut’ah
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Dan
orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap
istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki; sesungguhnya mereka
dalam hal ini tiada tercela. Barang siapa mencari yang dibalik itu, mereka
itulah orang-orang yang melampaui batas.” (al-Mu’minun: 5-7)
Dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang
nikah mut’ah terhadap para wanita dan memakan daging keledai piaraan pada
perang Khaibar.”(Muttafaqun ‘alaih)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang nikah mut’ah
di dalam hadits Rubayyi bin Sabrah, dari ayahnya,
“Ketahuilah bahwa nikah mut’ah itu haram sejak sekarang ini
sampai hari kiamat. Barang siapa (telah nikah mut’ah) dan memberi sesuatu
(kepada seorang perempuan), dia tidak boleh mengambilnya.”
Abdullah bin Zubair berkata di dalam khutbahnya di Mekah,
“Sungguh ada beberapa orang yang Allah butakan hati mereka sebagaimana Dia
telah membutakan mata mereka. Mereka berfatwa bolehnya nikah mut’ah.”
(HR. Muslim)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahmenjelaskan,
“Riwayat-riwayat yang mutawatir menunjukkan makna yang sama, yaitu
Allahsubhanahu wa ta’ala telah mengharamkan nikah mut’ah yang sebelumnya
dihalalkan. Pendapat yang benar, nikah mut’ah ini tidak akan menjadi halal
setelah diharamkan; yaitu setelah diharamkan pada masa Fathu Makkah.
Mut’ah tidak akan menjadi halal setelah itu.” (Nukilan Abdullah al-Bassam dalam Taudhih
al-Ahkam, 5/295)
Pengkhianatan Syiah terhadap Imam Mereka
Salah satu ciri khas Syiah Rafidhah adalah berlebihan dalam
mengultuskan Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu.
Dalam kitab mereka al-Kafi, diriwayatkan dari Muhammad
bin al-Fadhl, dari Abul Hasan, dia berkata, “Perwalian Ali radhiallahu
‘anhu sudah tertulis pada seluruh kitab para nabi, terlebih lagi
al-Qur’an. Tidaklah Allah subhanahu wa ta’ala mengutus seorang rasul
kecuali dengannubuwwah Muhammad dan dengan washiyatAli.” (Kitab
al-Hujjah dari al-Kafi, 1/437)
Meski demikian, dalam hal nikah mut’ah ini, mereka justru
mengkhianati fatwa imam mereka, yaitu Ali radhiallahu ‘anhu, yang telah
mengharamkannya. Alangkah besarnya kedustaan mereka!
Praktik Para Tokoh Syiah
Ayatullah Khomeini
Sayyid Husain al-Musawi al-Husaini, salah seorang mantan
murid Khomeini menceritakan bahwa dia pernah safar bersama Khomeini ke daerah
al-‘Atifiah. Di daerah itu, tinggal seorang lelaki yang berasal dari Iran,
Sayyid Shahib. Ia mempunyai hubungan yang dekat dengan Khomeini.
Sayyid Shahib sangat bergembira dengan kedatangan kami. Kami
tiba di tempatnya waktu Zuhur. Beliau menyediakan makan siang yang istimewa
untuk kami dan memaklumkan kepada kerabat dekatnya tentang kedatangan kami.
Mereka hadir dan memenuhi rumah beliau untuk menyambut kedatangan kami dengan
penuh penghormatan.
Sayyid Shahib meminta kepada kami supaya bermalam di
rumahnya pada malam tersebut, Imam pun setuju. Ketika tiba waktu Isya’,
dihidangkan disediakan makan malam untuk kami. Para hadirin mencium tangan Imam
dan berbincang-bincang dengannya.
Ketika hampir tiba waktu tidur, para hadirin bubar kecuali
penghuni rumah tersebut. Khomeini melihat anak-anak perempuan berumur empat
atau lima tahun yang sangat cantik. Imam meminta dari ayahnya, Sayyid Shahib
untuk melakukan nikah mut’ah dengan anaknya. Ayahnya pun setuju dengan perasaan
gembira. (Lillahi Tsumma lit Tarikh)
Sayyid Husain Shadr
Sayyid Husain Musawi bercerita pula, “Seorang perempuan
datang kepadaku dan bercerita tentang peristiwa yang dialaminya. Dia
menceritakan bahwa seorang tokoh Syiah, Sayid Husain Shadr, pernah melakukan
nikah mut’ah dengannya dua puluh tahun lalu. Dia pun hamil dari hubungan itu.
Setelah puas, dia menceraikannya.
Setelah berlalu beberapa waktu, perempuan itu dikaruniai
seorang anak perempuan. Dia bersumpah bahwa dia hamil hasil hubungannya dengan
Sayyid Husain Shadr, karena saat itu tidak ada yang melakukan nikah mut’ah
dengannya selain Sayyid Shadr.
Setelah anak perempuannya dewasa, dia menjadi seorang gadis
cantik dan siap menikah. Namun, sang ibu mendapati bahwa anaknya itu telah
hamil. Ketika ditanyakan tentang kehamilannya, dia mengabarkan bahwa Sayyid
Shadr telah melakukan nikah mut’ah dengannya dan menghamilinya.”
Peran Jalaludin Rakhmat Melariskan Mut’ah
Harian Fajar Makassar pernah memuat wawancara
khusus dengan Jalaludin Rakhmat pada 25 Januari 2009 tentang nikah mut’ah.
Ketua Dewan Syura IJABI ini berkata, “Nikah mut’ah itu
memang boleh saja dalam pandangan agama, karena masih dihalalkan oleh Nabi. Apa
yang dihalalkan oleh Nabi berlaku sampai hari kiamat.”
Akibat Nikah Mut’ah
Tidak ada yang mengetahui jumlah dan macam kerusakan akibat
perbuatan keji dan menjijikkan ini secara terperinci selain Allah.
Sebagian akibat yang bisa kita ketahui di antaranya:
• Dusta atas nama Allah subhanahu wa ta’ala dan
Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
• Tidaklah ada dosa dan kejahatan yang lebih berbahaya tehadap
umat dibandingkan keyakinan bahwa nikah mut’ah dihalalkan oleh Allah dan
Rasul-Nya.
• Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Dan
siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adakan dusta
terhadap Allah sedang dia diajak kepada agama Islam? Dan Allah
tiada memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (ash-Shaff: 7)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barang siapa berdusta atas namaku dengan sengaja, hendaknya dia mengambil tempat duduknya dari neraka.” (HR. Muslim)
Berapa banyak orang yang tertipu dengan sebab kedustaan
mereka ini?
Rusaknya nasab
Dengan sebab gonta-ganti pasangan ketika nikah mut’ah, maka
tatkala seorang wanita hamil, dia tidak akan tahu, hasil dari hubungan dengan
siapakah kehamilannya itu?Na’udzubillah min dzalik. Terlebih lagi
dengan sangat sering dan cepatnya periode nikah mut’ah.
Menurut klaim Syiah, Ja’far ash-Shadiq, yang mereka anggap
sebagai imam mereka, pernah ditanya, “Apa boleh seorang laki-laki melakukan nikah
mut’ah untuk jangka waktu satu atau dua saat saja?”
Dia menjawab, “Bukan hanya satu atau dua saat saja, bahkan
sehari atau dua hari juga boleh.” (al-Kafi, 5/459)
Pelecehan terhadap kaum wanita
Disebutkan dalam kitab mereka, al-Kafi (5/452),
“Nikah mut’ah-lah dengan mereka, walau sampai 1000 orang wanita. Sebab, wanita
itu bagaikan barang sewaan.”
Pelecehan ini menjadi lebih parah ketika kita tengok realita
bahwa dalam nikah mut’ah, seorang wanita tidak memiliki hak mendapatkan sandang,
pangan, maupun papan.
Tersebarnya berbagai penyakit kelamin
Berdasarkan sebuah penelitian, Irak merupakan negara dengan
jumlah penderita aids terbesar kedua se-Eropa dan Arab, setelah Iran. Melalui
sejumlah penelitian, diperoleh kesimpulan bahwa virus HIV di Irak menyebar
melalui hubungan dengan lawan jenis secara intensif melebihi yang biasa
dilakukan oleh seorang pelacur.
Inilah sekilas tentang nikah mut’ah kaum Syiah berikut
tinjauan syariat dan bahaya yang menyertainya.
Mudah-mudahan Allah subhanahu wa ta’ala senantiasa
memberi petunjuk kepada kita sehingga selamat dari berbagai kesesatan. Kita
berharap agar Allah subhanahu wa ta’alamemberi kita keistiqamahan di atas
jalan-Nya sampai kita bertemu dengan-Nya, dalam keadaan mendapat keridhaan dan
ampunan-Nya yang merupakan sebab kita dimasukkan ke dalam jannah-Nya. Amin.
Thanks for reading & sharing Subhanallah