Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
“Tidak ada seorangpun yang mengaku (orang lain) sebagai ayahnya, padahal dia tahu (kalau bukan ayahnya), melainkan telah kufur (nikmat) kepada Allah. Orang yang mengaku-ngaku keturunan dari sebuah kaum, padahal bukan, maka siapkanlah tempat duduknya di neraka” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam Al Quran yang menyebut kata ‘ahlulbait’, rasanya ada 3
(tiga) ayat dan 3 surat.
1. QS. 11:73: Para Malaikat itu berkata: “Apakah kamu merasa
heran tentang ketetapan Allah? (Itu adalah) rahmat Allah dan keberkatan-Nya,
dicurahkan atas kamu, hai ahlulbait. Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha
Pemurah”.
Ayat ini jika dikaitkan dengan ayat sebelumnya, maka makna
‘ahlulbait’ adalah terdiri dari isteri dari Nabi Ibrahim.
2. QS. 28:12: Dan Kami cegah Musa dari menyusu kepada
perempuan-perempuan yang mau menyusukan(nya) sebelum itu; maka berkatalah
Saudara Musa: ‘Maukahkamu aku tunjukkan kepadamu ‘ahlulbait’ yang akan
memeliharanya untukmu, dan mereka dapat berlaku baik kepadanya?
Ayat ini jika dikaitkan dengan ayat sebelumnya, maka makna
‘ahlulbait’ adalah meliputi Ibu kandung Nabi Musa As. atau ya Saudara kandung
Nabi Musa As.
3. QS. 33:33: “…Sesungguhnya Allah bermaksud hendak
menghilangkan dosa dari kamu ‘ahlulbait’ dan membersihkan kamu
sebersih-bersihnya”.
Ayat ini jika dikaitkan dengan ayat sebelumnya QS. 33: 28,
30 dan 32, maka makna para ahlulbait adalah para isteri Nabi Muhammad SAW.
Sedangkan ditinjau dari sesudah ayat 33 yakni QS. 33:34, 37
dan 40 maka penggambaran ahlulbaitnya mencakup keluarga besar Nabi Muhammad
SAW. para isteri dan anak-anak beliau.
Jika kita kaitkan dengan makna ketiga ayat di atas dan bukan
hanya QS. 33:33, maka lingkup ahlul bait tersebut sifatnya menjadi universal
terdiri dari:
1. Kedua orang tua Saidina Muhammad SAW, sayangnya kedua
orang tua beliau ini disaat Saidina Muhammad SAW diangkat sbg ‘nabi’ dan rasul
sudah meninggal terlebih dahulu.
2. Saudara kandung Saidina Muhammad SAW, tapi sayangnya
saudara kandung beliau ini, tak ada karena beliau ‘anak tunggal’ dari Bapak
Abdullah dengan Ibu Aminah.
3. Isteri-isteri beliau.
4. Anak-anak beliau baik perempuan maupun laki-laki. Khusus
anak lelaki beliau yang berhak menurunkan ‘nasab’-nya, sayangnya tak ada yang
hidup sampai anaknya dewasa, sehingga anak lelakinya tak meninggalkan
keturunan.
Bagaimana tentang pewaris tahta ‘ahlul bait’ dari Bunda
Fatimah?. Ya jika merujuk pada QS. 33:4-5, jelas bahwa Islam tidaklah mengambil
garis nasab dari perempuan kecuali bagi Nabi Isa Al Masih yakni bin Maryam.
Lalu, apakah anak-anak Bunda Fatimah dengan Saidina Ali
boleh kita anggap bernasabkan kepada nasabnya Bunda Fatimah?. ya jika merujuk
pada Al Quran maka anak Bunda Fatimah dengan Saidina Ali tidaklah bisa
mewariskan nasab Saidina Muhammad SAW.
Kalaupun kita paksakan, bahwa anak Bunda Fatimah juga ahlul
bait, karena kita mau mengambil garis dari perempuannya (Bunda Fatimah), maka
untuk selanjutnya yang seharusnya pemegang waris tahta ahlul bait diambil dari
anak perempuannya seperti Fatimah dan juga Zainab, bukan Hasan dan Husein sebagai penerima warisnya.
Dengan demikian sistim nasab yang diterapkan itu sistem
nasab berzigzag, setelah nasab perempuan lalu lari atau kembali lagi ke nasab
laki-laki, kalau mau konsisten seharusnya tetap diambil dari nasab perempuan
dan seterusnya.
Bagaimana Saidina Ali bin Abi Thalib, anak paman Saidina
Muhammad SAW, ya jika merujuk pada ayat-ayat ahlul bait pastilah beliau bukan
termasuk kelompok ahlul bait. Jadi, anak Saidina Ali bin Abi Thalib baik anak
lelakinya mapun perempuan, otomatis tidaklah dapat mewarisi tahta ‘ahlul bait’.
Kesimpulan dari tulisan di atas, maka pewaris tahta ‘ahlul
bait’ yang terakhir hanya tinggal bunda Fatimah.
Berarti anaknya Saidina Hasan
dan Husein bukanlah pewaris tahta AHLUL BAIT.
-Elfan
Thanks for reading & sharing Subhanallah